Recent Posts

Diberdayakan oleh Blogger.
Memahami sesuatu bila lepas dari latar belakang dan hubungan sejarahnya, akan menghasilkan pengertian dan penilaian sepotong, sepihak dan karenanya tidak akan diperoleh suatu kebenaran. Peristiwa baru tidak lepas dari peristiwa lama. Jaman baru merupakan kelanjutan dan produk jaman lama. Susul-menyusul, sambung-menyambung, tiada berkeputusan. Seperti ketika Nabi Kongzi tercenung melihat aliran sungai dan bersabda, “Semuanya mengalir pergi seperti ini. Siang-malam tiada henti-hentinya.” (Lun Yu IX : 17) Pantarei. Demikian pula untuk memahami tentang MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) perlu kita memahami jalan sejarah, termasuk sejarah Agama Khonghucu di Indonesia. 
Para sarjana prasejarah menemukan bahwa pada jaman akhir prasejarah terdapatlah sejenis Bangsa Melayu Purba di Indocina (lebih kurang 300 tahun s.M.), yang berhampiran dengan masa jaman Zhan Guo atau Peperangan Antar Tujuh Negara (masa akhir jaman Dinasti Zhou, 403 s.M. - 221 s.M.). Bangsa tersebut berkebudayaan neo-lithikum, yang mereka terima dan ambil dari kebudayaan tetangganya, kebudayaan Zhong Guo. Kebudayaan inilah yang kemudian berkembang dan oleh para ahli prasejarah dinamai kebudayaan Dongson (Tang Shan), yaitu untuk menyebutkan wilayah budaya lama yang mengacu kepada Raja Suci Yao atau Tang Yao (abad 23 s.M.) yang merupakan Nabi peletak dasar ajaran Ru Jiao (Agama Khonghucu); maka Tang Shan juga disebut Yao Shan. Sebuah benda prasejarah, kapak sepatu misalnya yang terdapat di Indocina dan Indonesia tidak terdapat di India atau Asia Kecil melainkan banyak terdapat di Zhong Guo, Siberia dan Eropa Timur. Demikianlah kebudayaan Dongson bergerak dan berkembang ke segala penjuru Nusantara; diantaranya ialah nekara-nekara perunggu dari jenis yang lebih tua yang ditemukan di Pulau Kur (Kepulauan Kei). Kini disimpan di museum ilmu bangsa-bangsa di Zurich yang padanya terukir huruf yang diperkirakan bentuk kuno huruf Han, sekalipun belum ditemukan artinya. Jadi sejak jaman purba ada bukti-bukti sudah adanya jalinan budaya Indonesia dengan Zhong Guo. 
Tatkala datang budaya dan religi Hindu dan Buddha terjadi pula perkawinan budaya Dongson dan budaya asli Indonesia dengannya. Orang-orang Zhong Guo yang datang ke Indonesia pada jaman itu beserta budaya dan religinya jelas membawa unsur-unsur Ru Jiao (Agama Khonghucu). Karena di Zhong Guo saat Dinasti Han (206 s.M - 220 M), atau tepatnya pada tahun 136 s.M Raja Han Wu Di sudah menetapkan Ru Jiao sebagai agama negara, sehingga terbentuk “way of live” yang dijiwai Agama Khonghucu. Dan tahun 104 s.M disebut sebagai mula Era Tai Chu yang menunjukan digunakan kembali secara resmi penanggalan Xia Li yang tahun barunya jatuh sekitar Jian Yin atau Li Chun (4 Februari) yang disini kita sebut sebagai penanggalan Yin Li (Imlek) atau Kong- zi Li. 
Dari uraian diatas diketahui sejak lama Ru Jiao masuk di bumi Nusantara bersama masuknya para perantau Zhong Guo yang mengarungi samudera, yang berdagang dan singgah serta menetap di beberapa kepulauan di Indonesia. Maka dari masa kemasa Ru Jiao tumbuh dan berkembang dan berdiri pula lembaga-lembaga Agama Khonghucu (Ru Jiao) ini, seperti rumah abu untuk menghormati arwah leluhur dan kelenteng-kelenteng (Miao) yang kita dapati hampir di seluruh penjuru tanah air. Dapat disebutkan Kelenteng Thian Ho Kiong di Makassar telah didirikan pada tahun 1688. Ban Hing Kiong di Manado didirikan pada tahun 1819 beserta rumah abunya (Kong Tik Su) didirikan tahun 1839. Kelenteng-kelenteng yang tua dipulau Jawa kita dapati di Ancol Jakarta, Semarang, Rembang, Lasem, Tuban, dan sebagainya. Pada tahun 1729 di Jakarta telah berdiri Shu Yuan, semacam pesantren yang memberikan pendidikan tentang Ru Jiao bernama Ming Cheng Shu Yuan, yang artinya Taman Kitab (akademi) Pendidikan Menggemilangkan Iman. Pada tahun 1886 di Jakarta diterbitkan Kitab Hikayat Khonghucu yang disusun oleh Lie Kim Hok dan pada tahun 1900 di Sukabumi diterbitkan Kitab Da Xue dan Zhong Yong, yang diterjemahkan oleh Tan Ging Tiong. Di dalam buku ini ditulis, pada tanggal 24 Desember 1899, penulis berjumpa dengan Dr. Lim Boen Keng di Singapura. Menurut Dr. Lim ini, di Singapore dan Malacca telah didirikan perhimpunan untuk memajukan Agama Khonghucu. 
Pada akhir abad XIX dan awal abad XX, perkembangan yang paling menonjol adalah pada tanggal 17 Maret 1900, berdiri suatu lembaga yang sesungguhnya bertujuan sama, yang diberi nama Tiong Hoa Hwee Kwan (Zhong Hua Hui Guan). Dipelopori oleh tokoh-tokoh Konfusiani terbentuklah lembaga itu dengan Presiden pertama Phoa Keng Hek (Pan Jing He) dan Sekretarisnya Tan Kim San (Chen Qin Shan). Tujuannya ingin memurnikan kehidupan keagamaan umat Khonghucu dan menghapuskan sinkretisasi di dalam pengajaran Agama Khonghucu serta membangun lembaga pendidikan bagi anak-anak keturunan Zhong Hua. Saat itu pemerintah Hindia Belanda bersikukuh tidak mau mendirikan sekolah untuk keperluan itu, meskipun pemerintah mendirikan ELS untuk anak-anak keturunan Eropa dan HIS untuk anak-anak “pribumi”. Setelah berkembangnya pendidikan yang dikelola oleh Tiong Hoa Hwee Kwan, yang berdiri hampir di seluruh kota-kota di Indonesia, barulah pemerintah mendirikan HCS. Di dalam hal upacara keagamaan Tiong Hoa Hwee Kwan berupaya menertibkan upacara-upacara kematian, pernikahan, dan lain-lain. 
Berdirinya Khong Kauw Hwee 
Perkembangan Tiong Hoa Hwee Kwan kemudian ternyata lebih cenderung hanya menggeluti masalah pendidikan umum; lebih-lebih setelah Dinasti Qing ditumbangkan oleh kaum nasionalis di Zhong Guo. Hal-hal yang berkait dengan masalah keagamaan, yang mula-mula dicantumkan dalam anggaran dasarnya, tidak mendapat perhatian banyak. Oleh karena itu dari seksi keagamaan dalam tubuh Tiong Hoa Hwee Kwan berkembang dan memisahkan diri, selanjutnya mendirikan lembaga agama yang diberi nama Khong Kauw Hwee (Kong Jiao Hui). Di Solo umpamanya, berdiri Khong Kauw Hwee pada tahun 1918 yang diketuai oleh Zl. Tan Kiong Wie (Chen Gong Wei) serta tokoh-tokoh lain seperti Zl. Tan Kiong Wan (Chen Gong Yuan), Zl. Kwik Hong Hi (Guo Hong Xi), Zl. Liem Tiang Kwat (Lin Chang Fa), dan lain-lain. Khong Kauw Hwee (Majelis Agama Khonghucu) ini sepenuhnya bergerak di dalam membina kehidupan beragama umat; umpamanya menyelenggarakan kebaktian-kebaktian, mengisi mimbar-mimbar lewat radio pemerintah (Kasunanan : SRV atau SRI) Surakarta, dan lain-lain. Akhirnya terpanggil pula untuk menyelenggarakan lembaga pendidikan khususnya bermotif memberikan pendidikan bagi anak-anak yang tidak mampu. Hal ini dipelopori oleh Zl. Tjioe Tik Hing (Zhou De Xing), kemudian didampingi Zl. Auw Ing Kiong dan sudah dimulai sekitar tahun 1925 serta menjadi sekolah formal pada tahun 1935 dengan bahasa pengantar Bahasa Melayu Riau dan Bahasa Zhong Hua. 
Tidak hanya di Solo berdiri Khong Kauw Hwee, melainkan juga di banyak tempat seperti Bandung, Cirebon, Surabaya, Semarang, Ujung Pandang, Malang, dan lain-lain. Karena itu pada tahun 1923 diselenggarakan kongres di Jogjakarta dan dibentuk Khong Kauw Tjong Hwee (Kong Jiao Zong Hui / Majelis Pusat Agama Khonghucu) dengan Ketua Zl. Poey Kok Gwan (Fang Guo Yuan). Laporan tentang kongres ini dimuat dalam majalah bulanan Khong Kauw Gwat Po (Kong Jiao Yue Bao) edisi 8 Desember 1923, halaman pertama, dengan judul “Pengharapan dan Tujuan Khong Kauw Hwee”. Kongres di Jogjakarta ini dengan persetujuan bersama telah memilih kota Bandung sebagai pusat. Pada tahun 1924 tanggal 25 September, di Bandung diselenggarakan pula kongres dengan tujuan merumuskan cara bagaimana agar Tata Agama Khonghucu dapat kian seragam di seluruh Indonesia. Untuk informasi dan komunikasi dengan Khong Kauw Hwee-Khong Kauw Hwee di daerah, diterbitkan majalah bulanan “Khong Kauw Gwat Po”, yang berlangsung sampai tahun 1930-an. Sekitar tahun 1921, Boen Bio Surabaya juga menerbitkan majalah bulanan bernama “Djiep Tek Tjie Boen” (Ru De Zhi Men), bahkan juga diterbitkan Kitab Soe Sie (Si Shu) lengkap dalam bahasa Melayu beserta teks aslinya hasil terjemahan G.T. Tan. Pada tanggal 25 Desember 1938 di Solo diselenggarakan konferensi lagi untuk penggabungan Khong Kauw Hwee seluruh Jawa; mengingat kepengurusan pusat yang di Bandung dinilai kian pasif. Konferensi ini menghasilkan adanya pimpinan pusat yang baru, juga tetap dengan nama Khong Kauw Tjong Hwee. Kedudukan pusat ditetapkan di Solo selama tiga tahun dengan Ketua Zl. Tio Tjien Ik (Chang Jin Yi) dan Sekretaris Zl. Auw Ing Kiong (Ou Yong Gong). Untuk sarana komunikasi ke daerah-daerah diterbitkan majalah “Bok Tok Gwat Po” (Mu Duo Yue Bao) yang sebelumnya bernama “Bok Tok Gwat Khan” (Mu Duo Yue Kan) yang diterbitkan oleh Khong Kauw Hwee Solo beberapa tahun sebelumnya. 
Pada tanggal 20 Pebruari 1939 diadakan perayaan Yin Li bersama Khong Kauw Hwee-Khong Kauw Hwee seluruh Jawa; pada hari itu juga digunakan untuk merayakan berdirinya berbagai Khong Kauw Hwee di beberapa tempat. 
Pada tanggal 24 April 1940, di Surabaya diselenggarakan konferensi Khong Kauw Hwee yang sebenarnya akan dibuka pada bulan Desember 1939. Hasil konferensi tersebut antara lain :
  1. Konferensi tahun 1941 diputuskan akan diselenggarakan di Cirebon.
  2. Seluruh sekolah-sekolah Khong Kauw Hwee diberi pelajaran agama yang didasarkan Kitab Su Si (Si Shu).
  3. Mengenai upacara pernikahan dan kematian diputuskan akan diselidiki lebih lanjut dan disesuaikan dengan perkembangan jaman 
MASA PENJAJAHAN JEPANG (1942-1945)
Dengan pecahnya perang dunia kedua dan masuknya bala tentara Jepang pada tahun 1942, praktis kegiatan Khong Kauw Tjong Hwee terbekukan, tidak dapat berjalan secara wajar bahkan terhenti. Khong Kauw Hwee-Khong Kauw Hwee setempat menyelenggarakan kegiatan berdasar kondisi masing-masing. 
MASA AWAL KEMERDEKAAN (1945-1955)
Pada masa awal kemerdekaan, sebagaimana halnya pada jaman pendudukan Jepang, Khong Kauw Tjong Hwee belum dapat mengkoordinir kegiatan-kegiatan keagamaannya. Demikian pula Khong Kauw Hwee-Khong Kauw Hwee di banyak daerah pada era itu hampir-hampir lumpuh. Litang-litang banyak digunakan untuk menampung pengungsi. 
Pada tahun 1948-1949 Khong Kauw Hwee Solo sudah mulai bangkit kembali membina kegiatan peribadahan dan organisasinya. Pada tahun 1950 bangkit kembali hasrat menyelenggarakan kegiatan bersama dengan kegiatan peribadahan di kelenteng-kelenteng, sehingga dibentuk Gabungan Sam Kauw Hwee Indonesia. 
Khong Kauw Hwee-Khong Kauw Hwee dan lembaga-lembaga lain seperti : Buddha, Tao, Thian Li Hwee dan lain-lain menjadi anggota Gabungan Sam Kauw Hwee Indonesia tersebut. Tujuan Gabungan Sam Kauw Hwee Indonesia pada waktu itu ingin mewadahi umat berbagai agama yang bersama-sama hidup di dalam berbagai kelenteng, khususnya di Jawa Barat. Tetapi pada kenyataannya tidak dapat berlangsung lama karena konflik para tokoh yang menghendaki Gabungan Sam Kauw Hwee Indonesia itu hanya sebagai wadah kerjasama dengan tetap memelihara kemurnian ajaran, akidah dan menjalankan tata ibadah masing-masing; berbenturan dengan tokoh-tokoh yang menghendaki lembaga itu menyatukan dan mensinkretisasikannya menjadi satu aliran saja. Maka terjadilah perpecahan dan Khong Kauw Hwee-Khong Kauw Hwee mengundurkan diri dari keanggotaan. Demikianlah pada tanggal 11-12 Desember 1954 di Solo diselenggarakan konferensi antar tokoh-tokoh Agama Khonghucu untuk membahas dan menyiapkan kemungkinan ditegakannya kembali Khong Kauw Tjong Hwee. 
Sebagai kelanjutan Konferensi tersebut diselenggarakan pula Konferensi di Solo tanggal 15-16 April 1955. Dalam Konferensi ini terbentuk kembali lembaga tertinggi Agama Khonghucu di Indonesia dengan nama “Perserikatan K’ung Chiao Hui Indonesia” disingkat “PKCHI” yang diketuai oleh dr. Kwik Tjie Tiok dan Sekretaris Oei Kok Dhan, pada tanggal 16 April 1955. 
TAHUN 1955-1965 
Perserikatan K’ung Chiao Hui Indonesia (Perserikatan Kong Jiao Hui Indonesia) untuk pertamakalinya mengadakan kongres pada tanggal 6-7 Juli 1956 di Solo yang dihadiri oleh utusan-utusan dari 6 daerah dan beberapa peninjau. Kongres tersebut pada pokoknya menyempurnakan AD/ART Perserikatan. Kedudukan pusat tetap di Solo demikian pula Ketuanya tetap dr. Kwik Tjie Kiok, tetapi Sekretarisnya diganti Zl. Tjan Bian Lie. 
Kongres II diselenggarakan di Bandung pada tanggal 6-9 Juli 1957 dengan dihadiri oleh utusan-utusan 12 daerah. Personalia pengurus tidak banyak perubahan, kedudukan pusat tetap di Solo untuk periode 1957-1959 dan dr. Kwik Tjie Tiok terpilih kembali sebagai Ketua dan Zl. Tjan Bian Lie sebagai Sekretarisnya. 
Pada Tanggal 5-7 Juli 1959 PKCHI menyelenggarakan Kongres III Di Boen Bio Surabaya dengan dihadiri utusan dari 12 daerah. Xs. Tan Hok Liang terpilih sebagai Ketua dan Zl. Tan Liong Kie sebagai Sekretarisnya untuk periode 1959-1961. Kedudukan pusat ditetapkan di Bogor. 
Pada tanggal 14-16 Juli 1961, diselenggarakan Kongres IV di Solo dan menghasilkan keputusan-keputusan penting : 
  1. Penyeragaman Tata Agama dan Tata Ibadah diusahakan lebih intensif.
  2. Mengubah nama Perserikatan K’ung Chiao Hui Indonesia menjadi Lembaga Agama Sang Khongcu Indonesia disingkat LASKI.
  3. Mengutus Zl. Thio Tjoan Tek, salah seorang Dewan Ketua LASKI, bersama dengan Prof. Dr. Moestopo dari Bandung, menghadap Menteri Agama RI untuk mohon agar bimbingan masyarakat Agama Khonghucu dikukuhkan kedudukannya di Kementerian Agama RI.
  4. Kedudukan pusat kembali ditetapkan di Solo dan untuk periode 1961-1963 diketuai oleh Zl. Tjan Bian Lie dengan Sekretarisnya Zl. The Ping Hap. 
Pada tanggal 22-23 Desember 1963, diselenggarakan Konferensi di Solo. Keputusannya antara lain mengubah nama LASKI menjadi GAPAKSI (Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu se-Indonesia), dan Khong Kauw Hwee menjadi Perkumpulan Agama Khonghucu disingkat PAK. 
Pada tanggal 5-6 Desember 1964, diselenggarakan Kongres V GAPAKSI di Tasikmalaya dan berhasil menetapkan beberapa keputusan penting, antara lain : nama Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu se-Indonesia diubah menjadi Perhimpunan Agama Khonghucu se-Indonesia dengan singkatan tetap GAPAKSI. Dalam kongres ini pula disahkan Tata Agama dan Tata Upacara Laksana Agama Khonghucu hasil Musyawarah Nasional yang diselenggarakan di Ciamis dari tanggal 16-18 Mei 1964. Ini merupakan Musyawarah Kerja Nasional I Rohaniwan Agama Khonghucu se-Indonesia yang dikoordinir oleh dr. Kwik Tjie Tiok, Xs. Nio Kie Gian, Xs. Oey Yok Soen dan Xs. Tjhie Tjay Ing, yang berupaya mengokohkan penyeragamkan Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khonghucu. 
Pada tahun 1965 Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No.1/Pn.Ps/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, yang di dalam penjelasannya menyebutkan, bahwa Agama-agama yang dipeluk penduduk Indonesia berdasarkan sejarahnya ada 6 (enam), yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu (Confucius). Menurut Eka Dharmaputera, seperti dikutip Lasiyo dalam disertasinya; pemilihan ke enam agama di atas didasarkan pada definisi Agama seperti yang diusulkan Menteri Agama pada waktu itu. Dinyatakan dalam definisi tersebut minimum ada 4 persyaratan : 
  1. Memiliki Kitab Suci,
  2. Memiliki Nabi,
  3. Percaya akan satu Tuhan (Ketuhanan Yang Maha Esa) dan
  4. Memiliki Tata Agama dan Tata Ibadah bagi pengikutnya. 
Tugas berat yang dihadapi GAPAKSI periode 1965-1967 ialah terjadinya tragedi nasional peristiwa G. 30S. PKI, yang terjadi pada tahun 1965. Pengurus berkewajiban meningkatkan pembinaan mental dan moral beragama serta mengintensifkan pembinaan kebaktian di seluruh Indonesia. 
TAHUN 1966-1998 
Pada tanggal 23-27 Agustus 1967, di Solo diselenggarakan Kongres VI GAPAKSI yang dihadiri oleh utusan-utusan dari 17 daerah. Hal-hal penting yang terjadi antara lain : 
  1. Pejabat Presiden RI, Jenderal Soeharto memberikan sambutan tertulis, yang dibawakan Gubernur Jawa Tengah, Moenadi. Presiden antara lain menyampaikan, “Agama Khonghutju mendapat tempat yang layak dalam negara kita yang berlandaskan Pantjasila ini”.
  2. Ketua MPRS Jenderal A.H. Nasution memberikan sambutan tertulis yang dibawakan oleh Cosmas Batubara.
  3. Sambutan dari IBP Mastra, Dirjen. Bimasa Agama Hindu dan Buddha Departemen Agama RI.
  4. Nama Gabungan Perhimpunan Agama Khonghucu disempurnakan menjadi Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN).
  5. Kedudukan pusat tetap di Solo. Untuk periode 1967-1969 diketuai Tan Sing Hoo, Wakil Ketua Xs. Suryo Hutomo dengan Sekretaris Ws. Oei Tjien San. 
Pada tanggal 4-5 Desember 1969, diselenggarakan Musyawarah Kerja Nasional II Rohaniwan Agama Khonghucu se-Indonesia di Solo, dengan dihadiri para Xueshi dari DKI Jaya, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, guna menyempurnakan pelaksanaan Tata Agama Khonghucu. Pada tanggal 24-28 Desember 1969, di Pekalongan diselenggarakan Kongres VII MATAKIN. Hadir utusan dari 20 daerah. Xs. Suryo Hutomo terpilih sebagai ketua periode tahun 1969-1971, kedudukan tetap di Solo. Keputusan penting antara lain : 
  1. Menggariskan program kerja MATAKIN untuk jangka pendek dan panjang.
  2. Mengangkat anggota-anggota kehormatan MATAKIN. 
Hal-hal penting lainnya adalah : 
  1. Sambutan Bapak IBP Mastra, Dirjen Bimasa Agama Hindu dan Buddha, mewakili Pejabat Presiden Bapak Jenderal Soeharto, Menteri Agama Bapak KH. Moch. Dahlan.
  2. Sambutan tertulis ketua MPRS, Bapak A.H. Nasution. 
Pada tanggal 25-27 Desember 1970, diadakan Muker (Musyawarah Kerja) MAKIN-MAKIN se-Jawa Barat dan DKI Jaya di Jakarta, untuk meningkatkan perkembangan Agama Khonghucu dan mensukseskan pembangunan Lima Tahun (Pelita). 
Pada tanggal 18-20 Maret 1971, di Solo diselenggarakan Musyawarah Kerja Umat Agama Khonghucu seluruh Indonesia (MUKERSIN) I yang dihadiri utusan-utusan dari 41 daerah. Tujuannya mensukseskan PELITA dan Pemilihan Umum tanggal 3 Juli 1971. Keputusan-keputusan penting yang dihasilkan:
  1. Menyatakan kepercayaan penuh kepada Pemerintah RI dalam melaksanakan PELITA demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
  2. Mewajibkan kepada segenap umat Agama Khonghucu untuk turut mensukseskan PEMILU dan Pembangunan. 
Pada pembukaan hadir Bapak IBP Mastra (Dirjen Bimasa Hindu Buddha), Letjen Soerono (Pangkowilhan II Jawa Madura), Mayjen S. Sukowati (Ketua Umum Sekber Golkar), Mayjen Widodo (Pangdam VII Diponegoro), Kol Sapardjo (Sekjen Sekber Golkar), serta Pejabat-pejabat setempat. 
Pada bulan Juni tahun 1971, MATAKIN melaksanakan penerangan agama keluar Pulau Jawa untuk membina umat Agama Khonghucu yang ada di daerah-daerah lain, agar lebih aktif berpartisipasi dalam Pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia. Daerah-daerah yang dikunjungi adalah : Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan (Bangka). Penerangan Agama keluar Jawa ini telah menghasilkan sesuatu yang cukup besar artinya, berturut-turut terbentuk Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) di daerah : Manado (Sulawesi Utara), Sambas (Kalimantan Barat), Amurang (Sulawesi Utara), Pangkal Pinang (Sumatera Selatan), Kisaran (Sumatera Utara), Sukamara (Kalimantan Tengah), Ujung Pandang (Sulawesi Tengah), Ternate (Maluku Utara), dan Jawai (Kalimantan Barat). 
Pada Tanggal 23-27 Desember 1971, diselenggarakan Kongres VIII di Semarang yang dihadiri utusan dari 28 daerah. Kedudukan pusat periode 1971-1975 tetap di Solo, dengan Ketua Umum Xs. Suryo Hutomo dan Sekretaris Js. Tjiong Giok Hwa. Keputusan-keputusan penting yang dihasilkan antara lain : 
  1. Mendukung sepenuhnya Program Pemerintah yaitu PELITA dalam akselerasi modernisasi di dalam era pembangunan 25 tahun, khususnya di bidang spirituil.
  2. Memohon kepada Pemerintah Republik Indonesia agar Agama Khonghucu mendapat perlakuan yang sama dengan agama-agama lain.
Hal-hal penting lainnya : 
  1. Sambutan-sambutan Ketua MPRS Jenderal A.H Nasution, Aspri Presiden RI Ali Moertopo, Aspri Presiden RI Mayjen Sudjono Humardhani, Laksamana Muda Udara TNI Sudarmono, Pangkolwilhan II / Jawa Madura Letjen Surono, IBP Mastra Dirjen Bimasa Hindu dan Buddha atas nama Menteri Agama RI, serta Jaksa Agung RI Sugiharto, SH. dan Mayjen Widodo Pangdam VII Diponegoro.
  2. Menyempurnakan AD dan ART MATAKIN. 
Pada tanggal 28 Agustus-3 September 1974, Xs. Suryo Hutomo mewakili MATAKIN memenuhi undangan Sekjen World Conference on Religion and Peace, Mr Hommer A Jack, yang berlangsung di Leuven Belgia. Dalam hal ini MATAKIN menyampaikan sumbangan pikiran yang dituangkan dalam buku “State in order world in peace”. Dan pada tanggal 17 Juli 1975 MATAKIN menerima kunjungan Mr Hommer A Jack di Indonesia. 
Pada tanggal 19-22 Desember 1975, di Tangerang diselenggarakan Musyawarah Kerja Nasional III Rohaniwan Agama Khonghucu se-Indonesia yang dihadiri oleh Rohaniwan-rohaniwan dari 25 daerah. Keputusan-keputusannya antara lain :
  1. Menyusun Hukum Perkawinan dan Pedoman Pelaksanaan Upacaranya yang disesuaikan dengan Undang-Undang RI No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
  2. Penyempurnaan dan Penyeragaman Tata Agama Khonghucu. 
Pada tahun 1976, MATAKIN mendapat undangan Asia Conference on Religion and Peace (Konferensi Agama dan Perdamaian Asia) yang berlangsung di Singapura tanggal 25-28 Nopember. 
Pada tanggal 20-23 Desember 1976, diadakan Musyawarah Kerja Umat Khonghucu se-Indonesia (MUKERSIN) II, dilangsungkan di Jakarta dengan dihadiri oleh utusan-utusan dari 35 daerah. Keputusan-keputusan penting adalah sebagai berikut : 
  1. Pernyataan bahwa umat Khonghucu seluruh Indonesia mendukung Kepemimpinan Nasional dalam mensukseskan Pembangunan Nasional.
  2. Melaksanakan pendekatan dengan Pemerintah dan masyarakat dengan memberikan penerangan-penerangan agama guna menghindarkan isu-isu negatif. 
Dalam bulan Maret 1977 MATAKIN menerima undangan dari World Conference on Religion, Philosophy and Culture, yang diselenggarakan 30 Maret - 4 April 1977 di Madras, India. MATAKIN dalam hal ini memberikan sumbangan pikiran yang dituangkan dalam buku, “All Men Within The Four Sea are Brothers”. 
Akhir Nopember 1977, MATAKIN menerima undangan dari World Conference on Future of Mankind, yang diselenggarakan 2-6 Februari 1978 di New Delhi, India. 
Pada tanggal 21-25 Februari 1979, diselenggarakan Kongres IX MATAKIN di Solo. Tetapi saat itu terjadi hal yang sangat. Menjelang pembukaan Kongres, mendadak ada instruksi dari penguasa di Jakarta agar acara Kongres ditangguhkan, sehingga hari pembukaan kongres kita jadikan acara sarasehan. Dengan kesepakatan bersama, Xs. Suryo Hutomo ditetapkan kembali sebagai Ketua Umum dengan masa bakti yang tidak ditentukan dan Kongres IX dianggap telah terlaksana. 
Pada tanggal 28 Agustus - 9 September 1979, MATAKIN mengirim utusan untuk mengikuti World Conference on Religion and Peace III di New Jersey, Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan di mata dunia, bahwa berkat Pancasila sebagai Dasar Negara di Indonesia, peri kehidupan beragama Khonghucu bersama-sama agama-agama besar lainnya yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Buddha senantiasa di dalam kerukunan dan bahu membahu. 
Pada tanggal 21 Desember 1982, diadakan Peringatan Hari Lahir Nabi Khongcu di Taman Mini Indonesia. 
Pada tanggal 23-31 Agustus 1984, di Nairobi, Kenya (Afrika) diadakan World Conference on Religion and Peace dan MATAKIN mengutus Xs.Suryo Hutomo menghadiri Konferensi tersebut. 
Pada tanggal 15 Januari 1987, di Solo dilangsungkan Konferensi MATAKIN secara intern yang dianggap sebagai pengganti Kongres X dengan tujuan utama memilih kepengurusan baru, dan hasilnya terpilih Ketua Umum MATAKIN periode 1987-1991 yaitu Ws. L.Kuswanto. 
Pada tanggal 14 Maret 1987, diadakan pertemuan MATAKIN dan disepakati untuk mengadakan revisi dan penyempurnaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dalam rangka menyesuaikan dengan Undang-Undang No.8 / 1985. 
Pada bulan April 1987, MATAKIN menerima surat dari Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha, Drs. I Gusti Agung Gde Putra, melalui suratnya No.II / 349 / 1987, tertanggal 11 April 1987 perihal, “Pembinaan Umat Khonghucu”, yang intinya Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha bersedia membina MATAKIN meski sifatnya sangat terbatas. 
Pada tahun 1988, Kitab Suci Agama Khonghucu, Kitab Suci Yang Empat (Kitab Su Si) dicetak untuk kelima kalinya. Disamping itu telah berhasil diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia Kitab Yak King (Yi Jing) atau Kitab Perubahan berisi Wahyu tentang kejadian alam semesta dengan segala peristiwanya. 
Pada tahun 1988 berdasarkan Surat bernomor : Wk / 8-a / B.A.00 / 826 / 1988, Semarang tanggal 8 April 1988, perihal : Pembinaan Masyarakat Khonghucu, Kepala Kanwil Departemen Agama R.I. Jawa Tengah, H. Halimi AR. mengirim surat yang ditujukan kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten se-Jawa Tengah yang isinya bahwa masyarakat Khonghucu di Jawa Tengah bernaung di bawah pengayoman dan pembinaan Pembimbing Masyarakat Hindu. 
Pada tanggal 29-31 Mei 1988, di Litang Gerbang Kebajikan MAKIN Solo diselenggarakan “Temu Karya Para Haksu”, yang dihadiri oleh Xs. Tjhie Tjay Ing, Xs. G.Budi Atmajaya (Lie Ing Lin), Xs. S.Dh.Chandra (Tjan Tjhoen Hie), Xs. Herru Soetjiadi (Tjia Siang Hay) dan Xs. Drs. The Houw Sek; yang memutuskan memberi ancang dan ancar menegakkan kehidupan beragama umat Khonghucu menghadapi tantangan jaman yang menuntut peningkatan iman, merawat semangat, memacu dan percaya diri dalam perjuangan menegakkan Dao (Jalan Suci) dan khususnya dalam meningkatkan usaha pembinaan generasi muda. 
Pada tahun 1991 diadakan pertemuan non-formal di wilayah Bogor yang dianggap sebagai pengganti Kongres XI MATAKIN, dan koordinasi jalannya organisasi MATAKIN diputuskan ditangani Xs. Suryo Hutomo, meskipun secara formal Ketua Umum tetap Ws. L. Kuswanto. 
Pada tahun 1991 MATAKIN menerima tamu Prof. Dr. Lee T. Oei, seorang mahaguru Filsafat dan Kebudayaan Timur Fordham University New York, Amerika Serikat yang juga banyak meneliti dan menulis mengenai Ajaran Khonghucu dan sempat memberikan ceramah ilmiah di Universitas Tarumanegara - Jakarta dengan judul :”Kejujuran (Cheng) Dalam Kerohanian Konfusian”. Beliau sampai kini tiap tahun masih memberikan makalah tentang ajaran Agama Khonghucu yang dimuat dalam Majalah MATAKIN : “Seri Genta Rohani Khonghucu (SGSK)”, yang terbit paling sedikit satu kali tiap tahun menjelang perayaan Tahun Baru Imlek. 
Pada bulan Pebruari 1992, MATAKIN mendapat undangan dari Nanyang Confucian Association Singapore. 
Pada tanggal 26 September 1992, Xs. Tjhie Tjay Ing, Ketua Dewan Rohaniwan MATAKIN menghadiri Seminar Internasional tentang Agama dan Perkembangan Kontemporer yang diselenggarakan oleh IAIN Kalijaga Jogjakarta. 
Pada tanggal 20 Juni 1993, berdasarkan Konferensi MATAKIN yang dilaksanakan secara intern yang dianggap sebagai pengganti Kongres XII di Jakarta berhasil disusun kepengurusan baru masa bakti 1993-1997 dengan kepemimpinan kolektif (Presidium). Sebagai Koordinator ditunjuk Dq.Hengky Wijaya dengan Sekretaris Presidium merangkap Ketua Majelis Pimpinan Pusat Harian (MPPH) Js. Chandra Setiawan (Bong Kim Chan, Huang Jin Quan). 
Pada tanggal 11-12 Oktober 1993, Js. Chandra Setiawan menghadiri “Peringatan 100 tahun Parlemen Agama-Agama se-dunia dan Kongres Nasional I Agama-Agama di Indonesia” di Jogjakarta. 
Pada tanggal 5-8 Oktober 1994, MATAKIN mengirim utusan mengikuti, “The International Symposium on Confucianism Commemorating The 2545th Anniversary of Confucius Birthday”, dengan membawa makalah berjudul, “Faith in God is The Soul of Confucian Ethicts and Morality”. 
Pada tanggal 1 Desember 1996, MATAKIN mendapat kunjungan dari para pemuka / rohaniwan Agama Khonghucu Korea (Sung Kyun Kwan) yang dipimpin langsung oleh presidennya Mr.Choi Gun Duk. Dalam kunjungan mereka ke Indonesia telah tercapai kesepakatan antara MATAKIN dengan Sung Kyun Kwan yang dituangkan dalam Memorandum of Agreement sebagai rencana kerjasama selanjutnya. Dalam kunjungan ke Indonesia
pada tanggal 1 Desember 1996, di Jakarta Mr.Choi Gun Duk sempat bertemu dengan Ketua Umum PB NU, KH. Abdurrahman Wahid. Di dalam perbincangan mereka antara lain Mr.Choi mengutarakan bahwa dialog antar umat beragama di Korea Selatan berjalan secara periodik dalam suasana harmonis, tidak ada diskriminasi antar agama. Pemeluk Islam di Korea Selatan adalah minoritas, tetapi mendapat perlakuan yang baik. Mr. Choi juga mengharapkan umat Khonghucu di Indonesia mendapatkan perlakuan yang baik dari pemeluk agama mayoritas dan pemerintah Indonesia. 
TAHUN 1998 – SEKARANG 
Terjadinya reformasi politik pada tahun 1998, meskipun diawali dengan peristiwa yang sangat memprihatinkan, tetapi kemudian terjadi perubahan besar dalam kehidupan politik di Indonesia. Patut kita syukuri pada tanggal 22-23 Agustus 1998, di asrama Haji Pondok Gede Jakarta telah dapat diselenggarakan Kongres (MUNAS) MATAKIN XIII, yang dihadiri tidak kurang dari 51 perwakilan MAKIN, KAKIN dan wadah umat Khonghucu lain dari berbagai penjuru tanah air Indonesia. Musyawarah Nasional MATAKIN XIII ini telah berhasil menyusun Presidium dan kepengurusan baru MATAKIN masa bakti 1998-2002 dan menyempurnakan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, ditetapkan Panca Dharma Badan Pengurus MATAKIN 1998-2002 serta Garis-Garis Besar Program Kerja dan struktur organisasinya. Dq. Hengki Wijaya terpilih sebagai Koordinator Presidium, Wakil Xs. Tjhie Tjay Ing dan Sekretaris Ws. Wastu Pragantha Zhong; dengan Ketua Umum Js. Chandra Setiawan dan Sekretaris Umum Budi Santoso Tanuwibowo (Tan Tjien Beng, Chen Qing Ming). 
Dari susunan pengurus nampak terjadi regenerasi karena sebagian besar pimpinan MATAKIN adalah kaum muda. Di dalam MUNAS ini, hadir memberikan kata sambutan antara lain : H. Amidhan, staf ahli Menteri Agama bidang Kerukunan Antar Umat Beragama dan Ketua Umum PB NU KH. Abdurrahman Wahid. Dalam kepemimpinan MATAKIN ini, pertama kalinya dalam sejarah dapat diselenggarakan perayaan nasional Tahun Baru Imlek Nasional 2551, di Jakarta, tanggal 17 Februari 2001 yang dihadiri oleh Presiden RI KH. Abdurrahman Wahid serta Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri, Ketua MPR RI Amien Rais, Ketua DPR RI Akbar Tanjung, duta-duta besar negara sahabat, para menteri dan pejabat tinggi negara lainnya serta tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Sebagai Ketua Panitia Perayaan Tahun Baru Imlek Nasional adalah Budi S. Tanuwibowo. Seminggu sesudahnya, di Surabaya juga diadakan perayaan Cap Go Me Nasional, dengan Ketua Panitia Ws. Bingky Irawan. 
Pada tahun 2000 ini pula Presiden KH. Abdurrahman Wahid mencabut Inpres 14/1967 dengan Keppres 6/2000. Dengan demikian seharusnya persoalan yang membelenggu agama dan Umat Khonghucu terselesaikan, meski pada kenyataannya hak-hak sipil Umat Khonghucu masih belum dipulihkan.
Perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2552 juga diadakan MATAKIN pada tanggal 28 Januari 2001, dengan Ketua Panitia Js. Budi S. Tanuwibowo. Acara ini juga dihadiri oleh Presiden RI. KH. Abdurrahman Wahid, Ketua MPR RI Amien Rais, duta duta besar negara sahabat, para menteri dan pejabat tinggi lainnya, serta tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Dalam pidatonya Presiden KH. Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa agama Khonghucu mendapatkan hak dan perlakuan yang sama, setara dengan agama-agama lainnya. Kehadiran beliau sebagai presiden, menegaskan komitmen itu. 
Meskipun Presiden KH. Abdurrahman Wahid kembali menegaskan kesetaraan bagi umat Khonghucu dan bahkan kemudian menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Falkutatif, namun pada kenyataan di lapangan hak-hak sipil Umat Khonghucu tetap belum pulih seratus persen. 
Perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2553 juga diadakan MATAKIN pada tanggal 17 Februari 2002, dengan Ketua Panitia Js. Handry Nurtanto. Acara ini dihadiri antara lain oleh Presiden RI. Megawati Soekarnoputri, Ketua MPR RI Amien Rais, mantan Presiden RI. KH. Abdurrahman Wahid, duta-duta besar negara sahabat, para menteri dan pejabat tinggi lainnya, serta para tokoh agama dan masyarakat. Pada akhir pidatonya Presiden RI. Megawati Soekarnoputri menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional. 
Pada tanggal 13-14 Juni 2002, MATAKIN mendapat undangan dari The Founding Meeting of the World Council of Religious Leaders yang diselenggarakan di United Nations Conference Center, Bangkok-Thailand, dan mengutus Ws. Chandra Setiawan dan Xs. Tjhie Tjay Ing. Dalam pertemuan itu hadir pula K.H.Abdurrahman Wahid. 
Pada tanggal 13-15 September 2002 diselenggarakan Kongres XIV MATAKIN di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta. Dalam kongres ini memberikan sambutan tertulis Menteri Agama RI Said Agil Husin Al Munawar, yang antara lain mengatakan: “...semoga penyelenggaraan acara ini membawa kegairahan dan semangat baru bagi saudara-saudara sekalian dalam upaya meningkatkan penghayatan dan pengamalan ajaran Khonghucu, terutama bagi peningkatan kualitas-kualitas hidup pribadi, keluarga, masyarakat, sehingga kehidupan bangsa dan negara lebih damai dan sejahtera dimasa-masa yang akan datang”. Kongres ini dibuka Ketua MPR RI Amien Rais. Ikut hadir memberikan sambutan antara lain : KH. Abdurrahman Wahid, Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Kwik Kian Gie, Sekretaris Umum MUI Din Syamsudin dan salah satu ketua MUI Sulastomo. 
Kepengurusan MATAKIN periode 2002-2006 adalah : Koordinator Presidium merangkap Anggota Ws. Wastu Pragantha Zhong, Wakil Koordinator Presidium merangkap Anggota Xs.Tjhie Tjay Ing, Sekretaris Presidium merangkap Anggota Ws. Chandra Setiawan, serta Ws. Bingky Irawan dan Xs. Masari Saputra sebagai Anggota. Xs. Masari Saputra yang menggantikan posisi Js. Budi S. Tanuwibowo yang kemudian terpilih sebagai Ketua Umum Dewan Pengurus MATAKIN. Terpilih sebagai Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus MATAKIN adalah Js. Handry Nurtanto dan Js. Lindasari Wihardja, Sekretaris Umum Dede Hasan Senjaya dan Bendahara Umum Henny Loho. 
Menjelang tutup tahun 2002, tepatnya tanggal 31 Desember 2002, bersama-sama dengan tokoh-tokoh lintas agama, diantaranya Din Syamsudin, Js. Budi Santoso Tanuwibowo, membawakan Orasi dan Doa di Bali, di hadapan Presiden Republik Indonesia, Megawati Soerkarnoputri, Wakil Presiden Hamzah Haz, duta-duta besar negara sahabat, para menteri, pejabat tinggi pusat dan daerah, yang disiarkan langsung oleh seluruh stasiun televisi. Doa bersama ini sengaja dilakukan di Bali, sehubungan dengan peristiwa bom di Bali yang terjadi beberapa waktu sebelumnya. Sementara itu, secara pararel dilakukan doa serupa di Bundaran Hotel Indonesia. Mewakili MATAKIN adalah Ws. TM. Suhardja, Paduan Swara Genta Swara Madia dan MAKIN se Jabotabek. 
Perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2554 kembali diselenggarakan di Jakarta, pada tanggal 06 Februari 2003, dengan Ketua Panitia Js. Wawan Wiratma. Beberapa minggu sebelumnya, delegasi MATAKIN yang dipimpin Ws. Budi Santoso Tanuwibowo beraudiensi dengan Presiden Megawati Soekarnoputri guna mempersiapkan Perayaan Tahun Baru Imlek Nasional dan sekaligus berusaha meyakinkan Presiden agar segera menyelesaikan persoalan-persoalan yang mengganjal dipulihkannya hak-hak sipil umat Khonghucu. 
Perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2555 kembali diselenggarakan oleh MATAKIN pada tahun berikiutnya, tanggal 28 Januari 2004, tetap dengan Ketua Panitia Js. Wawan Wiratma. Hadir dalam perayaan ini antara lain : Presiden RI Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden RI Hamzah Haz, Ketua MPR RI Amien Rais, Ketua DPR RI Akbar Tandjung, K.H. Abdurrahman Wahid, duta- duta besar negara sahabat, para menteri dan para pejabat tinggi negara, serta tokoh agama dan masyarakat. 
Heksa Windu atau ulang tahun MATAKIN yang ke – 48 diselenggarakan di Bogor, tanggal 19 April 2003. Sebelumnya, tepatnya pada tanggal 17-19 April 2003, didahului dengan Sarasehan Rohaniwan di Puncak untuk membicarakan beberapa hal penting yang berkaitan dengan permasalahan sosial dan tafsir keagamaan Khonghucu. Sarasehan Rohaniwan ini kemdian dilanjutkan dan diperdalam pada pertemuan serupa di Ambarawa. Pada Heksa Windu MATAKIN, Dewan Pengurus MATAKIN memberikan penghargaan khusus Yan Yuan, Zheng Zi, Zi Si, Meng Zi dan Qilin kepada beberapa tokoh pejuang Khonghucu, yaitu : Xs. Thjie Tjay Ing, dr. Kwik Tjie Tiok, Xs. Nio Kie Gian, Xs. Suryo Hutomo dan Zl. Tan Bok Soey. 
Pada bulan April-Mei 2003, Dewan pengurus MATAKIN, dengan didukung Dewan Rohaniwan dan Presidium, melakukan serangkaian audiensi dan lobby-lobby intensif sehubungan dengan rencana akan diundangkannya Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Lobby-lobby intensif ini dilakukan ke seluruh fraksi-fraksi, komisi- komisi dan pimpinan DPR RI, termasuk Ketua DPR RI Akbar Tandjung dan Menteri Pendidikan Nasional Nasional Abdul Malik Fadjar. Berkat langkah padu yang terencana ini, paragraf yang amat merugikan umat dan agama Khonghucu, yang menyatakan di Indonesia hanya ada 5 (lima) agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha) dapat dihilangkan. 
Pada tanggal 12 Januari 2004, Dewan pengurus MATAKIN dan Panitia Perayaan Tahun Imlek Nasional 2555 beraudiensi dengan Wakil Presiden RI Hamzah Haz. Dalam pertemuan itu, Dewan Pengurus MATAKIN mengadukan persoalan klasik yang menyangkut diskriminasi terhadap umat Khonghucu, yang masih saja terus berlangsung. 
MATAKIN menjadi salah satu nara sumber dalam silaturahmi para Tokoh Agama tentang Masa Depan Demokrasi yang diadakan Komisi pemilihan Umum dan Indonesian Committee on Religion and Peace di Jakarta, pada tanggal 31 Maret 2004. Mewakili MATAKIN, Ws. Budi Santoso Tanuwibowo, bersama-sama dengan pimpinan agama lain. 
Tanggal 08 April 2004, Ws. Budi Santoso Tanuwibowo mewakili MATAKIN dalam Pertemuan Agamawan, Kaum Intelektual, Kaum Muda dan Tokoh Politik, dalam acara Silaturahmi Anak Bangsa, bersama Ketua Umum PP Muhammadiyah A. Syafii Maarif, Ketua PB NU Solahuddin Wahid, Ketua Umum PGI Natan Setia Budi dll. 
Tanggal 14 April 2005, Ws. Chandra Setiawan mewakili MATAKIN dalam Dialog Antar Tokoh dan Umat Beragama tingkat Nasional, yang diselenggarakan Departemen Agama. 
Pada tanggal 24-27 Juni 2004, dilakukan Penataran dan Li Yuan Rohaniwan di Litang Gerbang Kebajikan MAKIN Solo. Kegiatan serupa juga dilakukan di MAKIN Boen Bio, Surabaya, pada tanggal 05 Desember 2004. 
Tanggal 03 Juli 2004 Dewan Pegurus MATAKIN menghadiri undangan Indonesian Conference on Religion and Peace di Jakarta, melakukan silaturahmi dengan para calon Presiden dan Wakil Presiden. 
Bersama-sama dengan pimpinan puncak agama-agama, antara lain : Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, Ketua PB NU Masdar F. Mas’ud, Natan Setiabudi, pada tanggal 10 Agustus 2004, Ws. Budi Santoso Tanuwibowo menemui Presiden Megawati Soekarnoputri dan dijamu makan siang di Istana Negara. Malam harinya bertemu dengan Calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam jamuan makan malam di Hotel Dharmawangsa. Tujuan pertemuan ini adalah untuk menawarkan Kerangka Kebersamaan Minimal, sebagai upaya besar untuk menggalang semangat kebersamaan. Sebelumnya, pada tanggal 20 Mei 2004, dengan didampingi oleh Haris Chandra, Wakil Ketua Dewan Penyantun MATAKIN, Ws. Budi Santoso Tanuwibowo bertemu tatap muka dengan Calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Calon Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selain itu Dewan Pengurus MATAKIN juga menghadiri undangan Calon Presiden yang lain, KH. Abdurrahman Wahid, Wiranto dan Amien Rais. 
Dalam rangka kepedulian terhadap perkembangan demokrasi, nasib bangsa dan negara, sejumlah pimpinan agama-agama Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan ketua Umum MATAKIN, Ws. Budi Santoso Tanuwibowo, melakukan anjang sana ke Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan KAPOLRI Jenderal Dai Bachtiar, serta pimpinan media massa. 
Perayaan Hari Lahir Sheng Ren Kong Zi ke-2555 diperingati secara nasional pada tanggal 08 oktober 2004, dengan Ketua Panitia Dq. Peter Lesmana. Berbeda dengan peringatan-peringatan sebelumnya yang diisi dengan berbagai kegiatan kesenian dan ritual, kali ini diperingati dengan Seminar Nasional di Jakarta, yang menghadirkan tokoh-tokoh dari berbagai agama, yaitu : Masdar F. Mas’ud, Siti Musdah Mulia, Romo Beny Susetyo, Pdt. Natan Setia Budi, Adi Suripto, Banthe Sri Pannavaro Mahathera dan Ws. Oesman Arif yang mewakili agama Khonghucu. Pada perayaan tahun sebelumnya, tepatnya pada tanggal 14 Oktober 2003, dirayakan dalam format seni dan hiburan. Pada waktu itu yang menjadi Ketua Panitia adalah Ws. Chandra Setiawan. 
Beberapa minggu sebelumnya, tanggal 23 September – 01 Oktober 2004, rombongan MATAKIN yang dipimpin Xs. Tjhie Tjay Ing, Ws. Budi Santoso Tanuwibowo, Ws. Chandra Setiawan dan Js. Wawan Kurniawan, melakukan ziarah suci ke Kompleks Kelahiran dan Makam Sheng Ren Kongzi. Tahun sebelumnya, rombongan peziarah dari Indonesia juga melakukan hal serupa, dipimpin Ws. Bingky Irawan. 
Tanggal 21-24 Oktober 2004, Ws. Chandra Setiawan mewakili MATAKIN menghadiri Healing a Hurting World The Role of NGOs, yang diselenggarakan WANGO di Budapest, Hongaria. Beberapa bulan sebelumnya, Ws. Mulyadi mewakili MATAKIN menghadiri undangan serupa di Bangkok, Thailand. 
Dalam rangka memperjuangkan hak-hak sipil umat Khonghucu, delegasi MATAKIN yang dipimpin oleh Ketua Umum MATAKIN, Ws. Budi Santoso Tanuwibowo, yang terdiri atas : Xs. Djaengrana Ongawijaya, Ws. Chandra Setiawan, Js. Handry Nurtanto, Js. Henny Loho, Dq. Dede Hasan Senjaya dan Dq. Rini Tjitrasari melakukan audiensi dengan Menko Polhukam Widodo A.S. pada tanggal 09 November 2004. Audiensi dilanjutkan ke Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pada tanggal 24 Januari 2005, terutama untuk meminta agar Peraturan Pemerintah yang akan menterjemahkan pelaksanaan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tetap netral dan tidak hanya terbatas pada 5 (lima) agama saja. Audiensi juga dilakukan dengan Menko Kesra Alwi Shihab pada tanggal 24 Februari 2005 dan sebelumnya dengan Ketua DPR Agung Laksono pada tanggal 08 Februari 2005. bersama Tokoh Tionghoa, Ws. Budi Santoso Tanuwibowo bertemu dengan Menteri Dalam Negeri M. Ma’ruf. 
Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum MATAKIN, Ws. Budi Santoso Tanuwibowo dan Js. Handry Nurtanto, bersama-sama tokoh agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, yaitu : Ahmad Syafii Maarif, Din Syamsudin, Hasyim Muzadi, Natan Setiabudi, Kardinal Julius Darmaatmadja, Adi Suripto (Sekjen PHDI) dan Siti Hartati Murdaya Po, memenuhi undangan terbatas Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda, untuk persiapan Dialog Antar Agama dan Antar Negara di Jogjakarta, 05-07 Desember 2005. 
Tanggal 05-07 Desember 2004, Ws. Chandra Setiawan dan Dq. Rini Tjitrasari mewakili MATAKIN hadir dalam Dialog Antar Agama dan Antar Negara di Jogjakarta, yang melibatkan 13 negara. Pertemuan ini dilanjutkan dengan pertemuan kedua pada tanggal 29-31 Desember, juga di Jogjakarta. Delegasi MATAKIN diwakili oleh Ws. Budi Santoso Tanuwibowo dan Dq. Rini Tjitrasari. 
Tanggal 04-Februari 2005, Ws. Budi Santoso Tanuwibowo, bersama-sama dengan tokoh lintas agama berdoa bersama dalam siaran langsung Metro TV, disaksikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan beberapa Menteri, dalam acara Tribute to Indonesia, sebuah acara kepedulian yang digagas Metro TV untuk mengatasi tragedi tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias, Sumatera Utara. 
Perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2556, diselenggarakan pada tanggal 13 Februari 2005 di Jakarta, dengan ketua Panitia Js. Sugeng Sentoso Iman. Perayaan ini dihadiri oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu, Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, Duta-Duta Besar negara sahabat, para Menteri dan para Pejabat Tinggi Negara, serta para Tokoh Agama dan Masyarakat. Dalam amanatnya Presiden RI menegaskan, “Negara tidak dapat tidak boleh dan tidak akan pernah mencampuri ajaran sesuatu agama. Tugas negara adalah mengayomi segenap pemeluk agama, membantu sarana dan prasarananya dan mendorong pemeluknya agar menjadi pemeluk agama yang baik. Hal ini sesuai dengan amanah pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan ‘Negara kita berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa’, oleh karena itu, bagi penganut agama Khonghucu, saudara-saudara tidak perlu ragu menjalankan ajaran agama yang saudara yakini”. Pada bagian lain Presiden berjanji untuk menuntaskan segala persoalan diskriminatif yang masih ada dan terjadi sampai saat ini, untuk bisa diselesaikan dalam masa pemerintahannya. 
Pada tanggal 09 Maret 2005, 25 orang delegasi MATAKIN yang terdiri atas pimpinan dan umat, antara lain : Ws. Budi Santoso Tauwibowo, Xs. Tjhie Tjay Ing, Xs. Bing S. Buanadjaya, Ws. Chandra Setiawan, Xs. Djaengrana Ongawijaya, Xs. Masari Saputra, Ws. Wastu Pragantha Zhong, Ws. Tjandra R. Mulyadi, Js. Handry Nurtanto dan Dq. Budi Wijaya, melakukan Dengar Pendapat Umum dengan Komisi VIII DPR RI yang dipimpin oleh Hj. Aisyah Badlowi. Hasil pertemuan itu tertuang dalam sebuah Catatan Rapat yang ditandatangani oleh Hj. Aisyah Badlowi mewakili Pimpinan Komisi VIII DPR RI dan Ketua Umum MATAKIN, Ws. Budi Santoso Tanuwibowo.
Perayaan Hari Ulang Tahun Emas MATAKIN diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 16 April 2005, dengan ketua panitia Js. Wawan Wiratma. Pada acara ini MATAKIN memberikan penghargaan kepada 8 (delapan) Tokoh Pejuang Agama Khonghucu, yang masing-masing dianugerahi penghargaan dengan nama 8 (delapan) murid Sheng Ren Kongzi. Kegiatan ini akan terus menjadi tradisi tahunan dan diutamakan kepada para pejuang yang sudah tiada dan terlacak datanya. Daftar penerima anugerah adalah Alm. Zl. Tio Tien Hway, Alm. Zl. Ong Hok Djoe, Alm Xs. Tjia Siang Hai, Alm Zl. Tan Djoen Liong, Alm. Xs. Nyong Loho, Zl. Ws. Tjioe Gion Hwan (Suryo Bawono), Ws. Setianda Tirtarasa dan Alm. Ws. Hendrayana Ongko Wijaya (Auwjang Tjoe Hoo). Selain itu MATAKIN juga memberikan penghargaan kepada 5 (lima) orang Xueshi, masing-masing : Xs. Tjhie Tjay Ing, Xs. Mulyadi, Xs. Djaengrana Ongawijaya, Xs. Masari Saputra dan Xs. Bing S. Buanadjaya. Disamping itu MATAKIN juga memberikan penghargaan kepada 8 (delapan) orang Sahabat atau Kerabat, yang selama ini secara konsisten sering membantu MATAKIN, yaitu : Sukanta Tanudjaja, Yusuf Hamdani, Teddy Sugianto, Budi Yuwono, Nancy Wijaya, Haris Chandra, Peggy Puger dan Lay Leo Silabu. 
Tanggal 21 Mei 2005, Tu Wei Ming, Profesor dan Ahli Khonghucu dari Harvard University datang berkunjung ke Indonesia dan memberikan Khotbah di MAKIN Tanggerang dan Boen Bio. Selama kunjungannya di Indonesia, Prof. Tu memberikan banyak ceramah di berbagai Universitas, membahas Ajaran Khonghucu dan manfaatnya bagi dunia. 
Tanggal 07 Juli 2005, rombongan MATAKIN yang dipimpin Ketua Umum MATAKIN diterima audiensi oleh Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. Intinya MATAKIN meminta Pemerintah Daerah DKI Jakarta agar mau mencatat agama Khonghucu di Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta, serta mau mencatatkan pernikahan secara Khonghucu di Kantor Catatan Sipil. Pada intinya Gubernur mengikuti kebijakan Pemerintah Pusat dalam hal agama. 
Bersama tokoh-tokoh agama yang tergabung dalam Indonesian Conference on Religion and Peace, Ws. Budi S. Tanuwibowo bertemu Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid pada tanggal 16 Agustus 2005, untuk membicarakan keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia yang terusik oleh berbagai benturan yang terjadi di masyarakat. Para tokoh agama meminta agar pemerintah bersikap lebih arif dalam menyikapi berbagai persoalan tersebut. 
Pada tanggal 24 September 2005 dilakukan Perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-60, yang sekaligus dilaksanakan dengan Hari Lahir Nabi Kongzi ke 2556 di Auditorium BPPT-Jakarta, dengan Ketua Panitia Dq. Rini Tjitrasari. Hadir dalam acara tersebut tokoh-tokoh agama dan masyarakat, antara lain : KH. Abdurrahman Wahid, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Departemen Agama RI Abdul Fatah, Sekretaris Umum Indonesia Conference And Religion And Peace Siti Musdah Mulia, Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia AA Yewangoe, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Kardinal Julius Darmaatmadja, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia IN Suwanda dan Ketua Majelis Buddhayana Indonesia Sudhamek AWS. 
MATAKIN di undang rapat oleh Litbang Departemen Agama tanggal 25 Oktober 2005 untuk membicarakan usulan MATAKIN tentang Peraturan Bersama Menteri yang mengatur pembangunan tempat ibadah, serta membicarakan hak-hak sipil umat Khonghhucu yang belum juga dipulihkan. 
Rombongan MATAKIN yang dipimpin oleh Ketua dan Wakil Ketua Umum MATAKIN melakukan audiensi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi pada tanggal 28 Desember 2005 untuk menanyakan keabsahan dan kekuatan hukum Undang-Undang No. 1/PNPS/1965. Lewat suratnya tertanggal 28 Desember 2005 Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Undang-Undang tersebut masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum yang sah. Dengan dasar ini maka akhirnya persoalan hak-hak sipil umat Khonghucu dipulihkan oleh pemerintah. 
Tanggal 11 Januari 2006, rombongan MATAKIN bertemu dengan Ketua DPR RI, Agung Laksono, dengan tujuan mengundang kehadiran Ketua DPR RI pada Perayaan Tahun Baru Imlek 2557 dan sekaligus meminta sambutan tertulis untuk dimuat di Buku Kenangan Imlek 2557. 
Audiensi serupa dilakukan dengan Menteri Agama, M. Matfuh Basyuni pada tanggal 23 Januari 2006. kepada Menteri Agama, Ketua Umum MATAKIN menyampaikan permohonan klasik MATAKIN agar pemerintah segera memulihkan hak-hak sipil umat Khonghucu sebelum Tahun Baru Imlek 2557. Keesokan harinya Menteri Agama mengeluarkan Surat Nomor MA / 12 / 2006, yang menegaskan kedudukan dan hak umat dan kelembagaan agama Khonghucu setara dengan agama Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Buddha. Ditegaskan pula bahwa Departemen Agama juga memberikan pelayanan yang serupa kepada Umat dan Kelembagaan Umat Khonghucu. 
Tanggal 24 Februari 2006, menindaklanjuti Surat Menteri Agama tersebut diatas, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan surat nomor 470/336/SJ yang intinya menegaskan bahwa Umat Khonghucu boleh mencantumkan agama Khonghucu di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan mencatatkan pernikahannya di Kantor Catatan Sipil. 
Perayaan Tahun Baru Imlek Nasional yang ketujuh kalinya dirayakan tanggal 04 Februari 2006 di Jakarta Convention Centre dengan Ketua Panitia Js. Sugeng Sentoso Imam. Perayaan ini dihadiri Presiden beserta Ibu Hj. Ani Bambang Yudhoyono, Ketua DPR, Wakil Ketua MPR AM. Fatwa, Ketua Mahkamah Konstitusi, KH. Abdurrahman Wahid, Menko Polhukam, Menko Kesra, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, Menteri Perdagangan, Sekretaris Kabinet, Duta-Duta Besar, Pejabat Tinggi Negara serta Tokoh-Tokoh Agama dan Masyarakat. Dalam sambutannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekali lagi menegaskan dan memerintahkan agar seluruh aparatur negara memberikan pelayanan yang setara kepada umat Khonghucu, sama seperti pelayanan yang diberikan kepada umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Hak-hak sipil umat Khonghucu sejak saat itu dipulihkan seperti sebelum tahun 1967. 
Tanggal 12 Februari 2006 MATAKIN diundang dalam Forum Tokoh-Tokoh Agama Asia Timur di Hotel Hilton. Hadir mewakili MATAKIN Ws. Budi S. Tanuwibowo dan Xs. Bing S. Buanadjaya. Sebulan kemudian, bersama-sama Pimpinan dan Tokoh Agama yang lain, seperti : Syafii Maarif, Din Syamsudin, Azyumardi Azra, AA Yewangoe, IN Suwanda, Philip Widjaya dan beberapa pejabat dari Departemen Luar Negeri, Ws. Budi S. Tanuwibowo menghadiri Cebu Interfaith Dialogue tanggal 14-16 Maret 2006 yang dibuka oleh Presiden Filipina, Gloria Macapagal Arroyo. 
Bekerja sama dengan Departemen Dalam Negeri, MATAKIN mengundang 500 Kepala Kantor Wilayah di bawah jajaran Departemen Dalam Negeri dari seluruh Indonesia untuk mensosialisasikan Hak-Hak Sipil Umat Khonghucu di Jakarta pada tanggal 06 April 2006 dan di Surabaya pada tangggal 18 April 2006. 
Tanggal 10 April dilakukan pembukaan Pelatihan Calon Rohaniwan yang diikuti 52 calon Rohaniwan dari seluruh MAKIN. Pelatihan dilakukan selama 2 bulan di MAKIN Tangerang, dengan fasilitator antara lain : Xs. Tjhie Tjay Ing, Xs. Djaengrana Ongawijaya, Xs. Masari Saputra, Xs. Bing S Buanadjaja, Js. Januardi, Dq. Peter Lesmana dan Ibu Genoveva (dari IBII). 
Hari Ulang Tahun MATAKIN ke-51 diselenggarakan di Hotel Borobudur tanggal 16 April 2006. Pada kesempatan itu MATAKIN memberikan penghargaan kepada 5 (lima) tokoh pejuang MATAKIN : Alm. Xs. SDH Chandra, Alm. Xs. Lely Loho, Ws. TM . Suhardja, Ws. Tjandra R. Muljadi dan Ws. Tan Tjoe Seng, serta penyematan pin emas untuk 14 orang Anggota Kehormatan MATAKIN : KH. Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah, Jimly Asshidiqie, Sri Sumantri, Agung Sasongko, Aisyah Baidlowi, Mohamad Najib, Natan Setiabudi, Sulistjowati Sugondo, A. Husen Adiwisastra, Lasiyo, Ikhsan Tanggok dan Rudy Pratikno. 
Bersama dengan MUI, NU, Muhammadiyah, PGI, KWI, WALUBI, dan PHDI, MATAKIN melakukan kerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan pada tanggal 31 Juli 2006. Hadir mewakili MATAKIN, Ws. Budi S. Tanuwibowo, Xs. Bing S. Buanadjaya dan Ketua PERKHIN Dq. Rini Tjitrasari. 
Bersama Tokoh Lintas Agama, Ws. Budi S. Tanuwibowo beraudiensi dengan Wakil Presiden tanggal 1 Agustus 2006, untuk menyampaikan sikap masyarakat atas konflik di Timur Tengah. Pada intinya para tokoh agama berharap agar pemerintah Indonesia berperan aktif untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia. 
Dalam kaitan perayaan Kemerdekaan Indonesia ke-61, Umat Khonghucu se Jabotabek hadir dalam Acara Doa Untuk Bangsa, yang diselenggarakan MATAKIN tanggal 12 Agustus 2006 di Mega Glodok Kemayoran. Ikut hadir dalam acara tersebut Prof. Tong Yun Kai dari Hongkong. 
MATAKIN hadir dalam World Peace Forum tanggal 14 Agustus 2006 di Jakarta, yang dibuka Wakil Presiden. Hadir mewakili MATAKIN, Ketua dan Wakil Ketua Umum MATAKIN, Xs. Bing Sidartanto Buanadjaja dan Ws. Chandra Setiawan. 
Departemen Agama mengadakan Kongres Tokoh-Tokoh Agama pada tanggal 22-24 Agustus 2006 di Jakarta. Hadir sebagai delegasi dalam acara tersebut: Xs. Tjhie Tjay Ing, Ws. Budi S. Tanuwibowo, Ws. Chandra Setiawan, Xs. Bing S. Buanadjaja, Js. Handry Nurtanto, Xs. Djaengrana Ongawijaya, Xs. Tjandra R. Muljadi, Ws. Aan Usmansyah, Ws. Asyuntapura, Ws. Mulyadi, Dq. Dede Hasan Senjaya, Dq. Suboko dan Js. Jimmy Sofyan Yosadi. 
Tanggal 26 September 2006 delegasi MATAKIN melakukan audiensi dengan Menteri Agama untuk melaporkan penyelenggaraan MUNAS XV MATAKIN tanggal 02-05 November 2006 dan sekaligus meminta kesediaan Menteri Agama untuk memberikan sambutan dan arahannya. Audiensi serupa dilakukan tanggal 16 Oktober 2006, dengan Ketua Mahkamah Konstitusi RI Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. 
MATAKIN mengadakan seminar tentang Sumpah Pemuda tanggal 29 Oktober 2006 membahas tema “Sumpah Pemuda dalam Perspektif Antar Generasi” dengan nara sumber Xs. Tjandra R. Muljadi, Ws. Mulyadi dan Dq. Kristan. Pada saat yang bersamaan dilakukan Konferensi Pers tentang pelaksanaan MUNAS XV MATAKIN. 
Sejak tahun 2002, MATAKIN banyak mendapat dukungan dari tokoh dan perkumpulan masyarakat tionghoa. Selain itu diresmikan pula pendirian organisasi perempuan dan kepemudaan tingkat nasional, yaitu Perempuan Khonghucu Indonesia (PERKHIN) yang dipimpin Dq. Rini Tjitrasari dan Generasi Muda Khonghucu (GEMAKU) yang dipimpin oleh Dq. Hartono Hutomo, putra Xs. Suryo Hutomo. Dalam bidang seni , dibentuklah grup musik tradisional Tiongkok yang bernama GEMULAI (Genta Suara Pembelai) dan Paduan Suara GSM (Genta Suara Madia). 
Dalam bidang organisasi telah dibuka MAKIN baru. Pada tanggal 17 Juli 2004, MAKIN Cirebon yang telah lama vakum kegiatannya, berhasil menyusun kepengurusan baru. Demikian juga dengan MAKIN Pangkalpinang yang bangkit kembali pada tanggal 23 Oktober 2005. 
Dalam bidang penerbitan MATAKIN telah menerbitkan Shu Jing dan Li Ji berbahasa Indonesia dengan istilah-istilah yang ditulis dalam versi Hua Yu, yang sepenuhnya diterjemahkan oleh Xs. Tjhie Tjay Ing. Selain itu MATAKIN telah menerbitkan majalah Genta Harmoni sejak 2004.
PENUTUP 
Umat Khonghucu (Ru Jiao) mengimani Dao (Jalan Suci) dan meyakini bahwa yang dibawakan ajaran agamanya adalah Wahyu TIAN yang menjadi karunia bagi hidup manusia agar mampu menegakkan Firman dalam kehidupan yang mempunyai nilai abadi. Dao ini turun sebagai wahyu TIAN (TIAN XI) sejak jaman nabi-nabi pra-sejarah seperti : Fu Xi, Nu Wa, Shen Nong, Huang Di dan Lei Zu yang hidup lebih dari tiga milenium sebelum Masehi. Fu Xi yang menerima Wahyu He Tu yang kemudian terbabar di dalam Kitab Yi Jing, Nu Wa (Nabi Perempuan) yang mengembangkan peradaban, mengatur hukum perkawinan dan tata peribadahan, Shen Nong yang memperkenalkan peternakan, pertanian dan khasiat berbagai obat-obatan untuk kesehatan manusia, Huang Di (hidup pada abad 27-26 s.M.) yang telah membangun struktur pemerintahan dan Lei Zu (Nabi Perempuan) yang memperkenalkan cara peternakan ulat sutra dan menenun kepompongnya menjadi kain sutra. Selanjutnya Nabi dan Raja Suci Tang Yao (2357-2255 s.M.) dan Yu Shun (2255-2205 s.M.) yang kitab-kitabnya masih kita warisi dalam Kitab Suci Shu Jing dan pada waktu itu juga hidup Nabi Besar Gao Yao. Lebih lanjut hidup Raja Suci Xia Yu yang didampingi Nabi Besar Yi pembangun Dinasti yang pertama yaitu Dinasti Xia (2205-1766 s.M.). Mereka dikenal sebagai Bapak Peletak Dasar Agama Khonghucu (Ru Jiao). 
Runtuhnya Dinasti Xia bangunlah Dinasti Shang atau Yin (1766-1122 s.M.) yang dibangun oleh Cheng Tang dan didampingi oleh Nabi Besar Yi Yin dan Zhong Hui. Dinasti Zhou (1122-255 s.M.) yang kemudian menumbangkan Dinasti Shang dan diawali dengan pemerintahan Raja Muda Barat (Xi Bo) yang bernama Ji Chang yang lebih banyak dikenal dengan nama Wen Wang (Raja Wen). Beliau bukan hanya seorang raja tetapi juga seorang Nabi Besar yang beroleh Wahyu membabarkan Kitab Yi Jing. Puteranya yang kedua Ji Fa adalah yang menumbangkan Dinasti Shang sedangkan puteranya yang keempat adalah Nabi Besar Ji Dan yang banyak membukukan Kitab-Kitab Suci Ru Jiao, antara lain : Yi Li (Kitab Tata Peribadahan) dan Zhou Li atau Zhou Guan yang merupakan Kitab Dasar Pemerintahan Dinasti Zhou. 
Nabi Besar Kongzi hidup pada jaman Dinasti Zhou (551-479 s.M.) pada era Chun Qiu (722-481 s.M.). Beliau adalah Nabi Besar yang menggenapkan DAO (Jalan Suci) yang telah diawali oleh para Raja Suci dan Nabi-Nabi Besar sebelumya. Dan Mengzi (371-289 s.M.) adalah penegak dan penulis Kitab Suci Agama Khonghucu yang terakhir yang hidup pada jaman Zhan Guo (475-221 s.M.). Itulah jaman-jaman para Nabi Ru Jiao. 
Jaman Zhan Guo (jaman peperangan antara tujuh negara) merupakan jaman yang kacau balau, seolah-olah Dao (Jalan Suci) para Nabi itu akan termusnahkan meskipun muncul berbagai aliran. Lebih-lebih setelah jaman Zhan Guo dan berdiri Dinasti Qin (221-206 s.M.), Kaisar Qin Shi Huang Di yang merasa sebagai Raja Agung dan menjadi pembangun budaya baru dengan sekuat tenaga berupaya menghancurkan Ru Jiao dan Kitab-Kitab Sucinya. Para Pu Shi (ulama-ulama Ru Jiao) dikejar-kejar dan bahkan dibunuh secara kejam. Rakyat diperintahkan tidak boleh membaca tetapi harus membakar habis Kitab-Kitab Suci tersebut atau mereka akan dihukum buang untuk membangun Tembok Besar bila melanggar perintah tersebut. Tetapi jaman Dinasti Qin hanya berumur pendek dan berdiri Dinasti Han (206 s.M.-220 M.). Pada jaman ini muncul tokoh-tokoh besar Ru Jiao seperti : Fu Sheng, Tong Zhong Shu (179-104 s.M), Yang Xiong (53 s.M.-18 M.), Liu Xin (46 s.M.-23 M.), Huan Tan (meninggal tahun 56 M.), Wang Chong (27-100 M.), Kitab Bai Hu Tong terhimpun pada tahun 79 M. setelah diadakan musyawarah besar di Bai Hu Tong yang menghimpun kembali Kitab-Kitab Suci Agama Khonghucu dan jabarannya. 
Pada jaman Dinasti Han, Ru Jiao (Agama Khonghucu) mengalami kejayaan khususnya didalam dunia Politik dan Birokrasi Negara, tetapi ada akibat negatif para tokoh-tokoh Ru Jiao itu kemudian kurang menaruh perhatian dalam mendalami kehidupan spiritual dan pembinaan serta pelayanan umat. Pada saat memasuki abad pertama masehi itu, agama Buddha Theravada mulai masuk dan dikenal. Perkembangannya ternyata cukup pesat dikalangan rakyat karena banyak membawakan nilai-nilai spiritual yang saat itu nampak diabaikan. Perkembangan Agama Buddha Theravada ini ternyata menimbulkan reaksi dari kaum Daois, tokoh-tokoh mereka yang mula-mula hanya mengembangkan Daoisme dalam kehidupan pribadi sebagai pertapa-pertapa dengan pengikutnya yang terbatas telah bangkit menghadapi tantangan agama baru ini dan membangun kelembagaan agama dengan tokoh spiritualnya yang paling dimuliakan sebagai Tian Shi (utusan Tian) yaitu Chang Dao Ling. Tokoh-tokoh mereka antara lain : Wei Bo Yang (sekitar 142 M), Yu Fan (164-233 M), Go Hong (250-330 M) oleh adanya gerakan ini agama Buddha Theravada tidak berkembang lagi. Agama Buddha Mahayana yang masuk kembali sekitar abad ke IV-V M ternyata berkembang dengan baik yang kemudian memunculkan berbagai-bagai aliran agama Buddha di Zhong Guo. Sehingga kemudian ketiga agama itu Ru Dao Fo (Khonghucu, Dao dan Buddha) hidup bersama bahkan sering terjadi pembauran antara ketiga macam aliran agama itu. Oleh karena itulah dikalangan tokoh-tokoh ulama Konfuciani (Khonghucu) muncul gerakan Dao Xue Jia atau oleh orang barat disebut Noe-Konfucianisme yang antara lain :
  1. Wan Tong (584-617 M) yang hidup pada jaman Dinasti Sui (590-617 M)
  2. Han Yu (768-824 M) dan Liao yang meninggal th 844 M hidup pada jaman Dinasti Tang (618-906 M)
  3. Zhou Dun Yi (1017-1073 M), Shao Yong (1011-1077 M), Chang Zhai (1020-1077 M), Cheng Yi (1033-1108 M) dan Cheng Hao (1032-1085 M) yang hidup pada Jaman Song Utara (960-1126 M).
  4. Zhu Xi (1130-1200 M), Lu Qiu Yuan (1139-1193 M), Yang Jian (1140-1226 M) yang merupakan tokoh besar Dao Xue Jia pada jaman Dinasti Song Selatan (1127-1279 M).
  5. Wang Yang Ming atau Wang Shou Yin (1472-1529 M) yang hidup pada Dinasti Ming (1368-1643 M).
  6. Kang You Wei (1858-1927 M) yang hidup pada akhir Dinasti Ching (1644-1911 M). 
Meskipun setelah dinasti Mancu tumbang dan Zhong Guo menjadi Republik, tetapi penganut Khonghucu tidak menjadi musnah. Ru Jiao sudah menjadi We Of Live sepanjang 5 ribuan tahun dan sampai kini masih banyak umatnya yang memeluknya sebagai agama maupun yang menghayati sebagai Way Of Livenya meskipun ada upaya-upaya yang menghancurkan Ru Jiao lebih-lebih pada jaman revolusi kebudayaan.